4/18/16

Bangsa Minahasa: Hasil Sebuah Kehendak

BANGSA MINAHASA: HASIL SEBUAH KEHENDAK
Oleh: Riane Elean

Image result for watu Pinawetengan history

Bangsa: Beberapa definisi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “bangsa” diartikan sebagai kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri. Batasan ini tidak berbeda dengan batasan istilah secara sosiologis-antropologis yang mengartikan bangsa sebagai persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut terikat oleh satu kesatuan ras, bahasa, agama dan adat istiadat.
Secara politis kata “bangsa” selalu dikaitkan dengan masyarakat, territorial dan kuasa. Hal tersebut terlihat dari definisi bahwa bangsa adalah suatu masyarakat yang berada dalam suatu daerah/ wilayah yang sama dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai kekuasaan yang tertinggi ke luar dan ke dalam.
Beberapa pakar kenegaraan juga telah memberikan definisi “bangsa” dengan beragam penekanan. Jalobsen dan Lipman misalnya mendefinisikan bangsa sebagai suatu kesatuan budaya dan politik. Berbeda dengan Otto Bauer yang menekankan kesamaan aspek sejarah dalam definisinya. Menurut Bauer, bangsa adalah kelompok manusia yang mempunyai kesamaan karakteristik (nasib). Definisinya senada dengan Hans Kohn yang mengartikan bangsa adalah buah hasil tenaga hidup manusia dalam sejarah.
Penekanan agar berbeda diberikan F. Ratzel dalam pembatasannya terhadap bangsa. Menurut dia, bangsa terbentuk karena adanya hasrat bersatu, hasrat itu timbul karena adanya rasa kesatuan antara manusia dan tempat tinggal (geopolitik). Definisi ini memberi penekanan pada drive (dorongan) yang memotivasi persatuan itu. Hasrat serupa ditemukan juga dalam definisi Rudolf Kjellen. Ia membuat suatu analogi dengan membandingkan bangsa dengan suatu organisme biotis dan menyamakan jiwa bangsa dengan nafsu hidup dari organisme termaksud. Suatu bangsa mempunyai dorongan kehendak untuk hidup, mempertahankan dirinya dan kehendak untuk berkuasa. Suatu bangsa dianggap ada apabila mulai sadar sebagai suatu bangsa jika para warganya bersumpah pada dirinya, seperti telah dilakukan oleh bangsa Swiss waktu mendirikan persekutuannya : wir wollen sein ein einzig vok von brudern (“kita ingin menjadi satu rakyat yang saudara satu sama lainnya”). Bagi Kjellen, dibalik suatu bangsa terdapat suatu kebangsaan. Dengan demikian bangsa bukan merupakan sebab, tetapi akibat dari kebangsaan, teori ini disebut dengan teori Lebenssehnsucht (nafsu hidup bangsa).
Seperti halnya Ratzel dan Kjellen pembahasan mengenai pengertian bangsa sebagai wujud motivasi juga diwacanakan oleh Ernest Renan (1882). Konsep kebangsaan Renan terungkap melalui kalimat yang terkenal dalam bukunya “Qu'est-ce qu'une nation?. Renan menulis: "avoir fait de grandes choses ensemble, vouloir en faire encore" yang berarti “telah melakukan hal-hal besar bersama dan ingin berbuat lebih banyak lagi”. Bagi Renan, yang dimaksud dengan bangsa adalah jiwa, suatu asas kerohanian yang timbul dari kemuliaan bersama di waktu lampau, yang merupakan aspek historis dan keinginan untuk hidup bersama (le desir de vivre ensemble) diwaktu sekarang yang merupakan aspek solidaritas. Bagi Renan, dasar dari suatu paham kebangsaan, yang menjadi bekal bagi berdirinya suatu bangsa ialah suatu kejayaan bersama di masa lampau dengan dimilikinya orang-orang besar dan diperolehnya kemenangan-kemenangan, sebab penderitaan itu menimbulkan kewajiban-kewajiban, yang selanjutnya mendorong ke arah adanya usaha bersama. Lebih lanjut Ernest Renan mengatakan bahwa hal penting merupakan syarat mutlak adanya bangsa adalah plebisit, yaitu suatu hal yang memerlukan persetujuan bersama pada waktu sekarang, yang mengandung hasrat untuk mau hidup bersama dengan kesediaan memberikan pengorbanan-pengorbanan. Bila warga bangsa bersedia memberikan pengorbanan bagi eksistensi bangsanya, maka bangsa tersebut tetap bersatu dalam kelangsungan hidupnya. Renan menekankan bahwa etniksitis tidak diperlukan untuk kebangkitan nasionalisme, jadi nasionalisme bisa jadi dalam suatu komunitas yang multi etnis, persatuan agama juga tidak diperlukan untuk kebangkitan nasionalisme. Persatuan bahasa mempermudah perkembangan nasionalisme tetapi tidak mutlak diperlukan untuk kebangkitan nasionalisme. Hal yang utama dari terbentuknya sebuah bangsa adalah adanya kemauan dan tekad bersama.
Titik pangkal dari teori Ernest Renan adalah pada kesadaran moral. Teori ini dapat digolongkan pada teori kehendak. Teori kehendak berbeda dengan teori kebudayaan yang menyatakan bahwa bangsa merupakan perwujudan persamaan kebudayaan: persamaan bahasa, agama, dan keturunan dan teori kenegaraan yang menyatakan bahwa bangsa dan ras kebangsaan timbul karena persamaan Negara. Dalam teori Ernest Renan, jiwa, rasa, dan kehendak merupakan suatu faktor subjektif, tidak dapat diukur dengan faktor-faktor objektif yang muncul dalam teori kebudayaan dan kenegaraan. Karena merupakan plebisit yang diulangi terus-menerus, maka bangsa dan rasa kebangsaan tidak dapat dibatasi secara teritorial. Daerah suatu bangsa bersifat statis, sedangkan jiwa, rasa dan kehendak dapat berubah-ubah secara dinamis, sesuai dengan jalannya sejarah bangsa itu sendiri.


Bangsa Minahasa: Hasil Sebuah Kehendak
Keturunan Toar dan Lumimuut (leluhur bangsa Minahasa) makin bertambah banyak yang di kemudian hari membentuk kelompok turunan berdasarkan fungsi. Makarua siyow (berfungsi melaksanakan tugas pemerintahan), makatelu pitu (berfungsi melaksanakan tugas keagamaan), pasiyowan telu (berfungsi melaksanakan tugas bertani, bekerja, dan menjadi waraney (prajurit). Kelompok yang semula terbentuk karena perbedaan fungsi lama-kelamaan bergeser menjadi stratifikasi. Kelompok makaruah-siow maupun makatelu pitu lama-kelamaan menganggap diri sebagai kelompok tertinggi dan menganggap bahwa kelompok pasiyowan telu adalah budak yang dapat diperlakukan sesuka hati.
Akumulasi perasaan tertekan kelompok pasiyowan telu mendorong terjadinya pemberontakan demi menuntut kesamaan hak-hak kesetaraan dengan dasar masuat peleng (semua sama). Kaum yang semula menjadi panutan kehilangan wibawa sama sekali. Tidak ada lagi pemimpin yang menasehati atau sesepuh yang dapat menyampaikan dasar-dasar istiadat murni yang diturunkan leluhur. Akhirnya anak-cucu para pendahulu itu menyadari keadaan itu dan ingin menyelesaikan sengketa. Mereka sepakat memilih orang-orang yang dianggap bijaksana, tahu dan taat aturan, dan masih dihormati, untuk memimpin sebuah erur (musyawarah), disaksikan Tonaas Kopero (pencegah keputusan salah) dan dihadiri seluruh kelompok yang bertikai. Pertemuan akbar ini dilaksanakan pada suatu tempat di bawah pegunungan Tonderukan, yang kemudian bernama Pinawetengan. Selain untuk menyelesaikan persoalan di atas, musyawarah ini juga untuk menyelesaikan konflik yang muncul akibat adanya perebutan tanah awohan (tanah pencaharian dan perburuan) antar kelompok.
Dalam musyawarah tersebut akhirnya disepakati kesamaan derajat semua kelompok yang nampak dalam seruan tonaas kopero: “Esa kita waya! Esa kita peleng! Tou Mahasa kita! Tou maesa waya! Maleosan! Kita peleng, masuat! Mapute waya! Rei’ siapa si paruku’an! Rei’ wana si pakuruan! Rei’ wana natas! Rei’ siapa wana mbawa’!” (Satu kita semua! Satu kita seluruh! Orang Minahasa kita! Bersatu itu baik! Saling berbaikan! Sama seluruh! Sama semua! Tiada orang yang disembah! tiada orang yang ditunduki! Tiada orang yang disanjung! Tiada yang berada di bawah!). Dalam musyawarah ini ditetapkan juga pembagian agama, bahasa dan tanah awohan. Semua kesepakatan dalam musyawarah digoreskan pada sebuah batu agar selalu diingat. Batu ini kemudian disebut watu pinawetengan (batu pembagian) atau watu tumotowa wangko (batu besar penjuru negeri).
Proses “menjadi” bangsa Minahasa seperti yang diceritakan di atas secara garis besar nampak dalam poin-poin di bawah ini:

  • ·         Keturunan Toar-Lumimuut makin berkembang
  • ·         Pihak mendominasi vs terdominasi
  • ·         Perlawanan terbuka
  • ·         Kerugian (material dan immaterial)
  • ·         Kebutuhan akan perdamaian, persatuan, kerjasama
  • ·         Rekonsiliasi
  • ·         Konsensus
  • ·         Bangsa Minahasa yang egaliter dan solid
  • ·         Bangsa Minahasa kontemporer= plebisit yang berulang
  • ·         ???
Kisah yang menceritakan proses kebangsaan Minahasa mengungkap apa, siapa, kapan dan bagaimana bangsa Minahasa, sekaligus menjawab pertanyaan mengapa Minahasa berbeda dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia. Adanya ketidakpuasan dan hasrat memenuhi kebutuhan menjadi alasan munculnya pihak-pihak yang mendominasi-terdominasi, perlawanan terbuka sampai kerugian material maupun spiritual. Pengalaman historis ini menjadi pelajaran bagi generasi Toar-Lumimuut selanjutnya tentang perlunya perdamaian, kerjasama dan persatuan secara egaliter sebagai kebutuhan primer yang tidak dapat tidak. Rekonsiliasi dalam sebuah erur menghasilkan konsensus bahwa “kita adalah sama, kita adalah satu, kita adalah Minahasa”. Solidaritas yang egaliter dalam Minahasa akhirnya menjadi sebuah jawaban atas kebutuhan akan persamaan, persatuan dan kerjasama itu. Kontinuitas Minahasa sebagai sebuah bangsa dapat bertahan mengindikasikan bahwa hasrat untuk hidup bersama dalam kerjasama secara egaliter masih menjadi kebutuhan sampai kini. Sehingga pertanyaan sampai kapan Minahasa dapat bertahan sebagai sebuah bangsa akan sangat tergantung apakah itu masih menjawab kebutuhan dan apakah masih ada hasrat menjawab kebutuhan itu. Dan semua itu masih ???

Tomohon, 18 Juli 2010

0 comments:

Post a Comment

Free ebook

Enter Your Comment