BANGSA
MINAHASA: HASIL SEBUAH KEHENDAK
Oleh: Riane Elean
Bangsa: Beberapa definisi
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata “bangsa” diartikan sebagai kelompok masyarakat yang bersamaan
asal keturunan, adat, bahasa dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri.
Batasan ini tidak berbeda dengan batasan istilah secara sosiologis-antropologis
yang mengartikan bangsa sebagai persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan
masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut terikat oleh satu kesatuan
ras, bahasa, agama dan adat istiadat.
Secara politis kata “bangsa”
selalu dikaitkan dengan masyarakat, territorial dan kuasa. Hal tersebut
terlihat dari definisi bahwa bangsa adalah suatu masyarakat yang berada dalam
suatu daerah/ wilayah yang sama dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya
sebagai kekuasaan yang tertinggi ke luar dan ke dalam.
Beberapa pakar kenegaraan
juga telah memberikan definisi “bangsa” dengan beragam penekanan. Jalobsen dan
Lipman misalnya mendefinisikan bangsa sebagai suatu kesatuan budaya dan
politik. Berbeda dengan Otto Bauer yang menekankan kesamaan aspek sejarah dalam
definisinya. Menurut Bauer, bangsa adalah kelompok manusia yang mempunyai
kesamaan karakteristik (nasib). Definisinya senada dengan Hans Kohn yang
mengartikan bangsa adalah buah hasil tenaga hidup manusia dalam sejarah.
Penekanan agar berbeda
diberikan F. Ratzel dalam pembatasannya terhadap bangsa. Menurut dia, bangsa
terbentuk karena adanya hasrat bersatu, hasrat itu timbul karena adanya rasa
kesatuan antara manusia dan tempat tinggal (geopolitik). Definisi ini memberi
penekanan pada drive (dorongan) yang memotivasi persatuan itu. Hasrat serupa
ditemukan juga dalam definisi Rudolf Kjellen. Ia membuat suatu analogi dengan
membandingkan bangsa dengan suatu organisme biotis dan menyamakan jiwa bangsa
dengan nafsu hidup dari organisme termaksud. Suatu bangsa mempunyai dorongan
kehendak untuk hidup, mempertahankan dirinya dan kehendak untuk berkuasa. Suatu
bangsa dianggap ada apabila mulai sadar sebagai suatu bangsa jika para warganya
bersumpah pada dirinya, seperti telah dilakukan oleh bangsa Swiss waktu mendirikan
persekutuannya : wir wollen sein ein einzig vok von brudern (“kita ingin
menjadi satu rakyat yang saudara satu sama lainnya”). Bagi Kjellen, dibalik
suatu bangsa terdapat suatu kebangsaan. Dengan demikian bangsa bukan merupakan
sebab, tetapi akibat dari kebangsaan, teori ini disebut dengan teori
Lebenssehnsucht (nafsu hidup bangsa).
Seperti halnya Ratzel dan
Kjellen pembahasan mengenai pengertian bangsa sebagai wujud motivasi juga
diwacanakan oleh Ernest Renan (1882). Konsep kebangsaan Renan terungkap melalui
kalimat yang terkenal dalam bukunya “Qu'est-ce qu'une nation?. Renan menulis:
"avoir fait de grandes choses ensemble, vouloir en faire encore" yang
berarti “telah melakukan hal-hal besar bersama dan ingin berbuat lebih banyak
lagi”. Bagi Renan, yang dimaksud dengan bangsa adalah jiwa, suatu asas
kerohanian yang timbul dari kemuliaan bersama di waktu lampau, yang merupakan
aspek historis dan keinginan untuk hidup bersama (le desir de vivre ensemble)
diwaktu sekarang yang merupakan aspek solidaritas. Bagi Renan, dasar dari suatu
paham kebangsaan, yang menjadi bekal bagi berdirinya suatu bangsa ialah suatu
kejayaan bersama di masa lampau dengan dimilikinya orang-orang besar dan
diperolehnya kemenangan-kemenangan, sebab penderitaan itu menimbulkan kewajiban-kewajiban,
yang selanjutnya mendorong ke arah adanya usaha bersama. Lebih lanjut Ernest
Renan mengatakan bahwa hal penting merupakan syarat mutlak adanya bangsa adalah
plebisit, yaitu suatu hal yang memerlukan persetujuan bersama pada waktu
sekarang, yang mengandung hasrat untuk mau hidup bersama dengan kesediaan
memberikan pengorbanan-pengorbanan. Bila warga bangsa bersedia memberikan
pengorbanan bagi eksistensi bangsanya, maka bangsa tersebut tetap bersatu dalam
kelangsungan hidupnya. Renan menekankan bahwa etniksitis tidak diperlukan untuk
kebangkitan nasionalisme, jadi nasionalisme bisa jadi dalam suatu komunitas
yang multi etnis, persatuan agama juga tidak diperlukan untuk kebangkitan
nasionalisme. Persatuan bahasa mempermudah perkembangan nasionalisme tetapi
tidak mutlak diperlukan untuk kebangkitan nasionalisme. Hal yang utama dari
terbentuknya sebuah bangsa adalah adanya kemauan dan tekad bersama.
Titik pangkal dari teori
Ernest Renan adalah pada kesadaran moral. Teori ini dapat digolongkan pada teori
kehendak. Teori kehendak berbeda dengan teori kebudayaan yang menyatakan bahwa
bangsa merupakan perwujudan persamaan kebudayaan: persamaan bahasa, agama, dan
keturunan dan teori kenegaraan yang menyatakan bahwa bangsa dan ras kebangsaan
timbul karena persamaan Negara. Dalam teori Ernest Renan, jiwa, rasa, dan
kehendak merupakan suatu faktor subjektif, tidak dapat diukur dengan
faktor-faktor objektif yang muncul dalam teori kebudayaan dan kenegaraan.
Karena merupakan plebisit yang diulangi terus-menerus, maka bangsa dan rasa
kebangsaan tidak dapat dibatasi secara teritorial. Daerah suatu bangsa bersifat
statis, sedangkan jiwa, rasa dan kehendak dapat berubah-ubah secara dinamis,
sesuai dengan jalannya sejarah bangsa itu sendiri.
Bangsa
Minahasa: Hasil Sebuah Kehendak
Keturunan Toar dan Lumimuut
(leluhur bangsa Minahasa) makin bertambah banyak yang di kemudian hari
membentuk kelompok turunan berdasarkan fungsi. Makarua siyow (berfungsi
melaksanakan tugas pemerintahan), makatelu pitu (berfungsi melaksanakan tugas
keagamaan), pasiyowan telu (berfungsi melaksanakan tugas bertani, bekerja, dan
menjadi waraney (prajurit). Kelompok yang semula terbentuk karena perbedaan
fungsi lama-kelamaan bergeser menjadi stratifikasi. Kelompok makaruah-siow
maupun makatelu pitu lama-kelamaan menganggap diri sebagai kelompok tertinggi
dan menganggap bahwa kelompok pasiyowan telu adalah budak yang dapat
diperlakukan sesuka hati.
Akumulasi perasaan tertekan
kelompok pasiyowan telu mendorong terjadinya pemberontakan demi menuntut
kesamaan hak-hak kesetaraan dengan dasar masuat peleng (semua sama). Kaum yang
semula menjadi panutan kehilangan wibawa sama sekali. Tidak ada lagi pemimpin
yang menasehati atau sesepuh yang dapat menyampaikan dasar-dasar istiadat murni
yang diturunkan leluhur. Akhirnya anak-cucu para pendahulu itu menyadari
keadaan itu dan ingin menyelesaikan sengketa. Mereka sepakat memilih
orang-orang yang dianggap bijaksana, tahu dan taat aturan, dan masih dihormati,
untuk memimpin sebuah erur (musyawarah), disaksikan Tonaas Kopero (pencegah
keputusan salah) dan dihadiri seluruh kelompok yang bertikai. Pertemuan akbar
ini dilaksanakan pada suatu tempat di bawah pegunungan Tonderukan, yang
kemudian bernama Pinawetengan. Selain untuk menyelesaikan persoalan di atas,
musyawarah ini juga untuk menyelesaikan konflik yang muncul akibat adanya
perebutan tanah awohan (tanah pencaharian dan perburuan) antar kelompok.
Dalam musyawarah tersebut
akhirnya disepakati kesamaan derajat semua kelompok yang nampak dalam seruan
tonaas kopero: “Esa kita waya! Esa kita peleng! Tou Mahasa kita! Tou maesa
waya! Maleosan! Kita peleng, masuat! Mapute waya! Rei’ siapa si paruku’an! Rei’
wana si pakuruan! Rei’ wana natas! Rei’ siapa wana mbawa’!” (Satu kita semua!
Satu kita seluruh! Orang Minahasa kita! Bersatu itu baik! Saling berbaikan!
Sama seluruh! Sama semua! Tiada orang yang disembah! tiada orang yang
ditunduki! Tiada orang yang disanjung! Tiada yang berada di bawah!). Dalam
musyawarah ini ditetapkan juga pembagian agama, bahasa dan tanah awohan. Semua
kesepakatan dalam musyawarah digoreskan pada sebuah batu agar selalu diingat.
Batu ini kemudian disebut watu pinawetengan (batu pembagian) atau watu tumotowa
wangko (batu besar penjuru negeri).
Proses “menjadi” bangsa Minahasa
seperti yang diceritakan di atas secara garis besar nampak dalam poin-poin di
bawah ini:
- · Keturunan Toar-Lumimuut makin berkembang
- · Pihak mendominasi vs terdominasi
- · Perlawanan terbuka
- · Kerugian (material dan immaterial)
- · Kebutuhan akan perdamaian, persatuan, kerjasama
- · Rekonsiliasi
- · Konsensus
- · Bangsa Minahasa yang egaliter dan solid
- · Bangsa Minahasa kontemporer= plebisit yang berulang
- · ???
Kisah yang menceritakan
proses kebangsaan Minahasa mengungkap apa, siapa, kapan dan bagaimana bangsa
Minahasa, sekaligus menjawab pertanyaan mengapa Minahasa berbeda dengan
bangsa-bangsa lainnya di dunia. Adanya ketidakpuasan dan hasrat memenuhi
kebutuhan menjadi alasan munculnya pihak-pihak yang mendominasi-terdominasi,
perlawanan terbuka sampai kerugian material maupun spiritual. Pengalaman
historis ini menjadi pelajaran bagi generasi Toar-Lumimuut selanjutnya tentang
perlunya perdamaian, kerjasama dan persatuan secara egaliter sebagai kebutuhan
primer yang tidak dapat tidak. Rekonsiliasi dalam sebuah erur menghasilkan
konsensus bahwa “kita adalah sama, kita adalah satu, kita adalah Minahasa”.
Solidaritas yang egaliter dalam Minahasa akhirnya menjadi sebuah jawaban atas
kebutuhan akan persamaan, persatuan dan kerjasama itu. Kontinuitas Minahasa
sebagai sebuah bangsa dapat bertahan mengindikasikan bahwa hasrat untuk hidup
bersama dalam kerjasama secara egaliter masih menjadi kebutuhan sampai kini.
Sehingga pertanyaan sampai kapan Minahasa dapat bertahan sebagai sebuah bangsa
akan sangat tergantung apakah itu masih menjawab kebutuhan dan apakah masih ada
hasrat menjawab kebutuhan itu. Dan semua itu masih ???
Tomohon, 18 Juli 2010
0 comments:
Post a Comment