4/22/16

Menafsir Ratapan Terakhir Sang Manguni

Menafsir Ratapan Terakhir Sang Manguni
Oleh: Riane Elean

Image result for manguni

Berfantasi tentang sebuah Negara dunia tunggal, dengan sistem pemerintahan on-line  dan operator-operator dunia cyber sebagai aparaturnya ternyata cukup menggelikan.  Segala Informasi dunia tersaji dalam format digital, bisa diakses secepat kilat ke segala penjuru; Negara dunia dengan e-money sebagai mata uang tunggal yang bebas fluktuasi; Negara dunia bersekuritas tinggi dengan AntiVirus, AntiSpyware dan AntiSpam sebagai agen urusan pertahanan-keamanan; Negara dunia yang kalau rapat atau diskusi tidak lagi di kantor atau aula, dengan personal gadget mungil multi fungsi dalam genggaman, di manapun, kapanpun, tak masalah; Negara dunia dengan katalog on-line yang atraktif, berharga flat, rupa-rupa bonus, plus delivery order, belanja bisa langsung dari tempat tidur; Negara dunia dengan vector dan matriks sebagai bahasa pengantar; Negara dunia dengan ruang dan waktu nisbi.  Negara dunia yang tak lagi menyinggung agama dan budaya lokal  dalam tiap diskusinya; Negara dunia dengan batas antara yang nyata dan maya tak lagi jelas, yang sering keliru menafsir mana manusia, mana yang bukan; Negara dunia serba futuristik namun masih menganut hukum rimba. Negara dunia yang minim mobilitas namun kaya C02 dan sampah satelit. Negara dunia super konsumtif, dengan kadar individualitas tingkat tinggi, yang interaksi sosialnya miskin kualitas; Negara dunia tanpa presiden dan DPR, dengan orang-orang aneh yang sibuk menatap telapak tangannya sendiri; Sebuah Negara dunia yang bukan mustahil ketika inovasi teknologi-informasi tumbuh pesat dan terkonvergen.
Bayangan sebuah Negara dunia di atas sukses membuat saya terbahak sekaligus bergidik, nyaris bersamaan dengan kesibukan saya mengira-ngira rupa Minahasa dalam fantasi futuristik itu. Bias modernisasi/ globalisasi memang banyak disanjung namun sekaligus dikuatirkan. Hegemoni global dan dominasi kultur barat adalah salah satu sumber kekuatiran itu. Seperti halnya ketika Hannerz (antropolog) melukiskan kemungkinan penyatuan kultur di masa datang, saat di mana kultur barat akan mendominasi seluruh dunia. Dunia akan menjadi jiplakan gaya hidup, pola konsumsi, nilai dan norma, serta gagasan dan keyakinan masyarakat barat.
Apakah Minahasa akan pasrah dan tenggelam dalam pusaran homogeni dan hegemoni itu? Akankah suatu saat kelak sebuah bangsa yang bernama “Minahasa”, dengan segala totalitasnya hanya akan tinggal fosil dari sebuah peradaban? Kalaupun kekuatiran itu ada, dengan apa ia tepat dibahasakan: “Minahasa dibunuh” atau “Minahasa bunuh diri” ? sebelum pertanyaan-pertanyaan ini terjawab, mari kita bernostalgia dulu.
Minahasa yang kontemporer dengan segala totalitasnya sering dideskripsikan orang dalam beragam versi. Dari versi eklektik nan santun sampai versi vulgar dan blak-blakan. Mulai dari misteri asal-usul genealogi yang belum sempat tersibak, kisah pertarungan triangulasi ksatria-pengkhianat-penjajah di balik epos, maupun fenomena perubahan sosial yang berjalan progresif walau tak kebal regresi. Ditambah potongan cerita “dibuang sayang" seputar elegi kemiskinan, bunga rampai intimidasi dan diskriminasi, intrik di balik pergulatan merebut kuasa, degradasi nilai hidup, sampai kualitas ekosistem yang makin tereduksi. Itulah Minahasa, grafik hidupnya turun-naik, gambaran bahwa Minahasa bukanlah bangsa super dengan sepak terjang yang tak pernah salah; Itulah Minahasa, bangsa yang semua dinamikanya pantas diceritakan apa adanya sebagai pelajaran tiap generasi. Sebagai kejujuran sebuah sejarah nan utuh, yang tak pantas disensor apalagi dilarang terbit.
Pengungkapan hidup leluhur bangsa di bibir pasifik ini tidak pernah lepas dari sebuah ikatan dengan Kuasa Tertinggi: Opo’ Wana Natas/ Opo’ Wailan/ Opo’ Wailan Wangko/ Opo’ Renga-rengan/ Empung Wailan/ Empung Renga-rengan (atau apapun Dia disapa)- dengan para leluhur, dengan komunitas keluarga, dengan masyarakat luas, juga alam sekitar, sebagai suatu kesatuan dalam keseluruhan, suatu keharmonisan yang tak pantas dipilah. Suatu pengungkapan hidup yang penuh simbol dan tanda yang maknanya lebih kental dari darah.
Sejarah pernah bercerita bahwa leluhur Minahasa begitu intim dengan alam. Antara lain terbukti pada pemilihan walian (pemimpin keagamaan). Seorang walian haruslah seorang yang dekat dengan alam, karena dia harus cepat menangkap gejala-gejala alam untuk mengatasi persoalan-persoalan yang ada di wilayahnya. Sang mananalinga harus peka dan punya daya tafsir terhadap pesan-pesan yang dibawah manguni, ular ataupun tikus, yang dipercaya sebagai perantara Penghuni Kasendukan.
Sejarah pernah bercerita bahwa orang yang diangkat menjadi pemimpin para leluhur harus punya keter (kekuatan). Pemimpin-pemimpin Minahasa tidak boleh sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya, karena dia bisa menerima sanksi dari Opo atau semacam sanksi ilahi. Ia akan menjadi weles: kehilangan kekuatan. Ia akan mendapat nama jelek dan dikucilkan dari masyarakat.
Sejarah pernah bercerita bahwa A. F. van Spreeuwenberg sewaktu meneliti sosiokultur Minahasa tahun 1842 membuat kesimpulan bahwa orang Minahasa mempunyai watak keras/ pemberang, kritis, hati-hati, tidak cepat terpengaruh, kadang-kadang terkesan acuh. Tetapi begitu mereka menentukan sikap, maka mereka konsekuen dengan itu. Dua ratus tahun sebelumnya, Pastor Palomino pernah tiba pada simpulan yang sama, di samping karakteristik lain yang pernah ditemuinya, yakni karakter orang minahasa yang suka bertukar pikiran dan terbuka menerima masukan.
Sejarah pernah bercerita bahwa selama satu setengah abad dalam era perjanjian-perjanjian antara Belanda dan Minahasa yang terjadi sampai tiga kali, Kompeni/ Belanda gagal mengusai Minahasa sepenuhnya. Hal-hal yang ditonjolkan dalam pelbagai laporan sepanjang masa tersebut antara lain: Pertikaian tuntas setelah diselesaikan dengan sumpah adat; Kegagalan maupun kesukaran yang dialami oleh pejabat-pejabat Belanda karena pengaruh wibawa para kepala Walak serta Pakasaan yang secara konsekuen taat pada keputusan-keputusan Dewan Wali [1]. Semua itu terlaksana dalam ikatan batiniah mendalam, dalam sumpah adat yang begitu keramat dan sakti bagi semua. Mereka yang bhineka itu terikat dalam semangat esa ene : kebersehatian, keseia-sekataan, loyalitas dan solidaritas.
Sejarah pernah bercerita bahwa para leluhur pun pernah salah, saat martabat kaum Pasiowan-teluh diperkosa, saat mereka dipandang semata budak oleh kaum yang sebenarnya hanya berbeda fungsi. Pertentangan terbuka jadi akibat. Para pemimpin kehabisan daya, kaum panutan kehilangan wibawa. Untunglah, para leluhur sadar juga bahwa diskriminasi sebenarnya tak boleh ada. Untuk selesaikan sengketa, leluhur orang Minahasa duduk bersama, bermusyawarah mencari sepakat. Guratan di Watu Pinawetengan u nuwuh adalah saksi bisu sepenggal cerita erur (musyawarah) para leluhur itu.
Namun apa yang terjadi kemudian justru mematenkan sebuah ironi. Para perantara penghuni Kasendukan mulai terdegradasi dari dunia kehidupan. Beberapa jenis burung, mamalia, reptilia dan ampibi Minahasa terdaftar dalam Red List of Threatened Animals yang diterbitkan oleh World Conservation Union. Salah satu akar penyebab mencuatnya ancaman kepunahan ini adalah rendahnya apresiasi masyarakat terhadap kekayaan alam yang nampak dari perburuan dan perusakan habitat.
Penebangan kayu di kawasan hutan tanah Minahasa pada umumnya yang tidak terkendali, dimulai sejak akhir 1960-an yang dikenal dengan “banjir-kap” di mana orang melakukan penebangan kayu secara manual. Penebangan hutan skala besar dimulai pada 1970. Kemudian dilanjutkan dengan dikeluarkannya izin-izin pengusahaan hutan tanaman industri di 1990, yang melakukan land clearing (tebang habis). Selain itu, areal hutan juga dialihfungsikan menjadi kawasan perkebunan skala besar yang juga melakukan pembabatan hutan secara menyeluruh, dan menjadi kawasan transmigrasi.
Harian Manado Post edisi 6 Maret 2007 mengungkapkan fakta tentang Pembabatan Hutan Warembungan yang diduga dibeking oleh pihak BPN dan Kehutanan. Pada edisi 13 Maret 2007 harian ini kembali mengulas bahwa ‘’Kawasan Hutan Lindung Mahawu diperjualbelikan’’. Edisi 15 Maret 2007 mengungkapkan ‘’30 ribu hektar hutan Minahasa Kritis’’.  Jadi sangatlah tragis dan beralasan ketika kemudian manguni simbol Minahasa, yang dihormati para leluhur sebagai utusan dari Kasendukan,  harus berbagi habitat dengan Tarsius Spectrum dalam sebuah suaka margasatwa, menanti detik-detik kepunahan akibat kerakusan manusia.
Nilai-nilai hidup yang diwariskan leluhur bagi kita sebenarnya merupakan kearifan yang universal sifatnya. Harmonisnya relasi horizontal manusia-alam bukan tidak fungsional lagi kini bukan? Lantas ke manakah perginya nilai keintiman orang Minahasa dengan alam jika hutan tidak dijaga, satwa makin punah dan sampah dimana-mana? Pertanyaan selanjutnya, ke mana perginya para pemimpin keter yang tidak sewenang-wenang ketika pejabat yang seharusnya jadi panutan justru ramai-ramai berkorupsi? Ke mana perginya orang Minahasa yang terkenal kritis dan hati-hati ketika uang dan kekuasaan bisa dibarter dengannya? Ke mana perginya nilai musyawarah-mufakat ketika erur  tak lagi bermakna dan peda jadi cara selesaikan perkara? Ke mana perginya kesakralan sumpah adat ketika batas tawaang dipindah seenaknya dan saudara sedarah saling bunuh karena warisan? Ke mana perginya egalitas ketika diskriminasi merajalela? Ke mana perginya loyalitas dan solidaritas ketika  mapalus jadi tak penting dan individualisme makin kronis? Mungkinkah yang hilang dari Minahasa adalah “kesaktian” seperangkat  tatakrama dalam Posan Pahasiwoan : aturan-aturan hidup, yang walaupun sederhana tetapi tak ternilai dan sangat berkarakter? Dan jika peradaban hakikatnya adalah capaian nilai, lantas bergerak  ke arah manakah peradaban Minahasa?
Menurut Toynbee, kelahiran sebuah peradaban tidak berakar pada faktor ras atau lingkungan geografis, tetapi bergantung pada dua kombinasi kondisi, yaitu adanya minoritas kreatif dan lingkungan yang sesuai. Lingkungan sesuai ini tidak sangat menguntungkan juga tidak sangat tidak menguntungkan. Mekanisme kelahiran sebuah peradaban berdasarkan kondisi-kondisi ini terformulasi dalam proses saling mempengaruhi dari tantangan dan tanggapan. Lingkungan menantang masyarakat dan masyarakat melalui minoritas kreatifnya menanggapi dengan sukses tantangan itu. Solusi yang diberikan minoritas kreatif ini kemudian diikuti oleh mayoritas. Proses ini disebut mimesis. Tantangan baru kemudian muncul, diikuti oleh tanggapan yang sukses kembali. Proses ini terus berjalan. Masyarakat berada dalam proses bergerak terus dan gerak tertentu membawanya kepada tingkat peradaban. Bentuk tantangan atau rangsangan lingkungan yang melahirkan peradaban ini antara lain: negeri yang ganas, tanah baru (karena migrasi misalnya), serangan (karena perang misalnya), tekanan (karena kompetisi antar masyarakat misalnya), hukuman (hukuman sosial misalnya).
Dengan demikian, peradaban adalah objektifikasi kemauan dan kemampuan sebuah masyarakat dalam konteks ruang dan waktu. Peradaban yang sesungguhnya adalah peradaban yang menghasilkan capaian-capaian. Dari definisi dan ukuran peradaban itu dapat kita pahami hal-hal berikut.  (1) Peradaban adalah produk sebuah masyarakat. (2) Peradaban memiliki konteks ruang dan waktu. Ada proses kesejarahannya. (3) Peradaban dinilai dari capaiannya. Sehingga menggerakkan kembali sebuah peradaban tidak dapat dilakukan hanya sekedar menumpuk-numpuk capaian (produk) peradaban lain. Peradaban adalah sumber, sedangkan produk adalah hasil dari sumber itu, bukan kebalikannya.
Peradaban yang jatuh kemudian hancur adalah kenyataan sejarah. Tetapi kejatuhan atau kehancuran peradaban bukanlah keniscayaan kosmik atau karena faktor geografis atau karena degenerasi rasial atau karena penyerbuan dari luar. Juga bukan karena kemunduran teknik dan teknologi. Karena kemunduran peradaban adalah sebab, sedang kemunduran teknik adalah konsekuensi atau gejala.
Toynbee menegaskan: “Civilizations die from suicide, not by murder”. Peradaban runtuh karena bunuh diri (sosial), bukan karena pembunuhan (sosial). Dalam formulasinya, keruntuhan peradaban berasal dari tiga hal; kegagalan usaha kreatif para minoritas, penarikan mimesis dari mayoritas dan hilangnya kesatuan sosial. Kemunduran peradaban melewati fase-fase berikut; kejatuhan, distintegrasi dan hancur. Kejatuhan dan disintegrasi bisa berabad-abad, bahkan ribuan tahun. Toynbee memberi contoh, peradaban Mesir mulai jatuh pada abad ke-16 SM dan hancur pada abad ke-5 M. Selang dua ribu tahun antara awal jatuh dan kehancurannya adalah masa kehidupan yang membatu.
Pada masa pertumbuhan minoritas kreatif memberi respon yang sukses terhadap tantangan yang muncul, pada periode disintegrasi, mereka gagal. Pada masa kejatuhan, minoritas kreatif mulai teracuni kemenangan, kemudian memberhalakan nilai-nilai relatif atas nilai-nilai absolut, kehilangan karisma yang membuat mayoritas mengikuti mereka. Pada masa disintegrasi, minoritas ini kemudian bergantung pada kekuatan untuk mengatur masyarakat. Mereka berubah dari minoritas kreatif menjadi minoritas penguasa. Massa berubah menjadi proletariat.
Untuk menjaga kelangsungan hidup peradaban, dikembangkanlah negara universal, semisal Kekaisaran Roma. Sebagian masyarakat, mereka yang ada dalam subordinasi minoritas dalam tubuh peradaban (Toynbee menyebutnya internal proletariat) mulai meninggalkan minoritas ini, tidak puas, kemudian membentuk gereja universal (misal kristianitas dan budhisme). Mereka yang berada di luar peradaban pada kondisi kemiskinan, kekacauan (Toynbee menyebutnya external proletariat) mengorganisasikan diri untuk menyerang peradaban yang mulai runtuh. Skisma menimpa jiwa dan tubuh peradaban. Peperangan kemudian berkobar. Pada jiwa peradaban, skisma ini mengubah mentalitas dan prilaku anggotanya. Pada puncaknya jika naluri mengendalikan diri manusia, secara sosial sebuah peradaban sudah mulai meluncur menuju keruntuhan.
Singkatnya, beginilah keruntuhan peradaban bermula: ketika naluri, insting mulai mengendalikan diri manusia. Kemudian rusakklah jaringan sosial masyarakat. Dengan kerusakan jaringan sosial ini,  ide, pribadi dan benda menjadi tidak efektif, sehingga dinamika sosial menjadi berhenti, pencapaian menjadi mandul. Kerusakan kemudian menyentuh faktor-faktor ini. Muncullah ide-ide yang beku dan mati bahkan mematikan. Muncullah penyembahan atas orang/pribadi. Muncullah ideologi bendaisme: segala sesuatu diukur secara bendawi dan menumpuk-numpuk benda sebagai parameter kehidupan.
Demikianlah, keresahan akan rentetan perubahan yang dialami bangsa Minahasa di era modernisasi/ globalisasi ini bukanlah tanpa alasan. Ancaman hilangnya identitas sebagai sebuah “bangsa  besar” menjadi salah satu konsekuensi kausal yang bisa terprediksi. Namun ancaman terhadap eksistensi peradaban Minahasa pertama-tama bukanlah karena globalisasi, amerikanisasi, chinanisasi ataupun indianisasi, melainkan terletak pada kesiapan mental dan sikap Tou Minahasa merespons tantangan, termasuk tantangan modernisasi/ globalisasi. Rasionalisme tanpa nilai-nilai spiritual, ditambah Individualisme dan konsumerisme yang semakin kronis merupakan akar matinya sebuah peradaban. Jika terjebak dengan itu, Minahasa barangkali akan senasib dengan kekaisaran Romawi.
Sebenarnya bangsa Minahasa punya penangkal untuk penyakit kronik yang bernama “keruntuhan peradaban”. Transformasi kultural dan revitalisasi kearifan lokal nampaknya menjadi suatu kemutlakan, agar kita tidak akan menyaksikan “Armagedon Minahasa” : manakala semuanya sudah terlambat, pekik sang manguni terakhir akan semakin keras. Ia membawa pesan dari Kasendukan,  sebuah ratapan yang tafsirannya adalah “Minahasa sudah mati”.


Bahan Bacaan:
Friedman, Thomas L. 2009. Hot, Flat, and Crowded. Jakarta: PT Gramedia
Lauer, Robert H. 2001. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: PT Rineka Cipta
Mamengko Roy E. (edt). 2002. Etnik Minahasa dalam Akselerasi Perubahan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Palar, H.B. 2009. Wajah Lama Minahasa. Jakarta: Yayasan Gibbon Indonesia
-----------------------. Wajah Baru Minahasa. Jakarta: Yayasan Gibbon Indonesia
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana
--------------------------------------------------------. 2008. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Saruan, Josef Manuel. 1991. “Opo” dan Allah Bapa. Jakarta
------------------------------. 2003. Agama dan Kebudayaan dalam Konteks Minahasa. Tomohon: Unit Percetakan Sinode GMIM
Sztompka, Piotr. 2008. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada


[1] Dewan Wali Pakasaan merupakan lembaga tertinggi yang mempunyai kewenangan baik ke dalam menyangkut keamanan dan ketentraman seluruh rakyat, kewenangan mengatur semua hubungan ke luar, termasuk menentukan sikap menerima atau menolak suatu usul atau unsur dari luar. Jika suatu usul atau unsur tertentu diterima, kesepakatan tersebut akan diterapkan kepada seluruh rakyat .

0 comments:

Post a Comment

Free ebook

Enter Your Comment